Jumat, 16 November 2012

Cerpen Cinta Tanah Air

Dibuat sesuai request adik tersayang Desiana Rahmadani untuk tugas Bahasa Indonesia


Aisyah merapikan tempat tidurnya yang berantakan, dipandangnya sekilas sebuah pigura berwarna merah muda yang berada di sudut meja belajarnya, nampak dua orang gadis kecil berseragam putih merah tersenyum ceria. Kemudian Aisyah memandang ke cermin, merapikan seragam putih biru yang dikenakannya. Tiba-tiba ekspresinya berubah jadi menerawang  ke masa itu, saat masih ada gadis itu.
Grace tetangga sebelah rumah yang seumuran dengan Aisyah, ayahnya keturunan bule Prancis dan ibunya orang Indonesia asli. Saat kenaikan kelas 6 SD, tiba-tiba Grace sekeluarga pindah ke Paris karena neneknya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Sejak itu dia menetap di sana dan di sebelah rumah hanya tinggal pembantunya yang sesekali datang membersihkan rumah tapi mereka berjanji akan tetap mengirim kabar lewat email. Aisyah paling suka melihat Grace dengan wajah Indonya memakan bakso kesukaannya. Grace selalu bilang, “Muka boleh blasteran tapi hati tetap satu cinta tanah air Indonesia.”
“Ca, ayo berangkat sudah jam berapa ini?,” ucap cowok berseragam putih abu yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamar Aisyah, membuyarkan lamunannya. “Ah, iya Kak sebentar,” dengan cekatan tangannya memasang jam tangan warna pink yang sudah menunjukan pukul 05:45, meraih tas kemudian menyusul kakaknya.
Di meja makan, papa dan mamanya sudah menunggu untuk sarapan. “Ayo Ca, Faisal nasi gorengnya keburu dingin lho,” ujar mama.
Selesai sarapan, dikeluarkannya mobil sedan berwarna silver oleh papa. Di dalam mobil, tak lupa Aisyah mengotak-atik ipad yang di bawanya.
“Pasti ng’cek email dari Grace?.” Kak Faisal melirik sesaat ke arah ipad yang di pegang adiknya.
“Syirik aja sih, Kak!. Ah Grace bilang dia akan berlibur di Indonesia minggu depan.” Aisyah berteriak kegirangan, papanya ikutan tertawa.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di sekolah. Sekolah Aisyah dan kakaknya bersebelahan. Sebelum turun dari mobil, tak lupa mereka berpamitan dan mencium tangan papanya.
Saat bel istirahat berbunyi. Aisyah dan 4 orang temannya seperti biasa berkumpul di bawah pohon rindang. Ada Nita yang tomboy, Sifha yang imut, Radit dengan kacamatanya, dan Reno si tampan.
“Hei dengar, sahabat kecil ku yang tinggal di Paris akan berlibur ke sini lho, seneng banget aku.” ujar Aisyah sambil menunjukan email dari Grace.
“Wah, seru donk. Kenalin ke kita ya, Ca.” seru Nita.
Aisyah mengangguk. “ Pasti donk, tapi jangan di bully ya dia.”
Reno menatap dengan tajam, “Gak, di bully kok, Ca. Cuma dijadikan pacar.”
“Huuuu…. Terus si Dinda, Tamara taruh mana? Dasar playboy kelas teri” kata Sifha dengan tangan mungilnya memukul pelan pundak Reno.
Radit yang daritadi sibuk membaca buku ikutan angkat bicara, “Lama di luar negeri apa dia masih ingat dengan sini? Secara sekarang banyak orang Indonesia yang sok kebulebulean gitu.”
“Tapi Grace beda, dia tetap cinta tanah air kok, buktinya dia masih WNI lho.”
“Ya, kita liat aja nanti, Ca.”
Diskusi mereka pun berakhir saat bel masuk pelajaran berbunyi. Bu Endang, guru sejarah sudah masuk di kelas, mendongeng panjang lebar tentang sejarah Indonesia. Tapi tangan Aisyah justru sibuk di bawah meja mengotak-atik ipad-nya, asyik chat YM dengan Grace.
Tiba-tiba Bu Endang memanggilnya, “Aisyah, coba jelaskan apa yang kamu ketahui tentang hotel Majapahit?.” Sontak Aisyah langsung celingukan bingung mau jawab apa. Untung saja Shifa teman sebangkunya menyodorkan buku paket sejarah tentang hotel Majapahit.
“Itu bu hmm.. Dulu namanya hotel Orange, Bu. Di situ dulu terpasang bendera Belanda dengan warna merah putih biru di puncak hotel. Lalu dengan berani arek-arek Suroboyo naik ke atas dan merobek warna biru dari bendera tersebut, Bu.”
“Iya, cukup bagus. Baik Ibu lanjutkan,” ujar Bu Endang sambil melanjutkan materi.
“Pssst.. Hampir aja, Shif. Makasih ya.” Shifa pun tersenyum sembari memberi isyarat agar tetap tenang.
Waktu sudah menunjukan pukul 14:00, giliran bel pulang yang berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas. Demikian Aisyah dan 4 temannya.
Kak Faisal sudah menunggu di depan pagar sekolah, duduk di pinggir jalan.
“Kak, hari ini aku pulang bareng mereka ya naik mobilnya Shifa, soalnya mau ke rumah Radit buat ngerjain tugas kelompok,” kata Aisyah sambil menunjuk teman-temannya.
“Yaaa.. Berarti kakak pulang naik angkot sendirian dong?,” kata Kak Faisal dengan ekspresi kecewa.
Dengan  bersemangat Shifa berkata, “Kak, Ichal, pulang bareng kita juga aja gimana?.”
“Ah, jangan kesenengan kamu ntar, lagian kelamaan nanti keburu sore,” kata Reno sambil mengacak-acak rambut panjang Shifa.
“Apa kamu!.” Shifa mendengus kesal di iringi tawa teman-teman yang lain.
Akhirnya mereka berlima pun naik ke dalam mobil APV hitam yang sudah menunggu daritadi dan Kak Faisal pulang sendiri naik angkutan umum.
“Pak Rudi, kita ke rumah Radit ya,” kata Shifa kepada supir pribadinya yang setia menemani.
Dalam perjalanan tak lupa Aisyah mengeluarkan ipad-nya, melanjutkan chat yang tadi terputus gara-gara Bu Endang.
ü  Haii, Grace. Maaf tadi terputus karena guruku tiba-tiba manggil dan menyuruh menerangkan sejarah Indonesia kesukaanmu.
ü  Yeach, don’t worry, Ca. Ini aku lagi berkemas-kemas untuk ke Indonesia, aku rindu sekali dengan masakan Indonesia.
ü  Lho, liburannya kan masih minggu depan, ngapain berkemas sekarang?
ü  Because I was very interested and hope to be back to Indonesia, can play again with you I missed it.
ü  I miss you too, Grace. Nanti aku akan kenalkan kamu ke teman-temanku di sini.
ü  Are you sure? Oh, Thanks God for my dream come true. Ingat ya walau berbeda-beda kita tetap satu tanah air Indonesia.
ü  Okay, seperti lagu yang sering kamu nyanyikan Aku bangga menjadi anak Indonesia. Sampai nanti ya, aku mau kerja kelompok nih.
ü  Okay, see you
Aisyah menghentikan chatnya dan memasukan ipad-nya ke dalam tas saat mobil sudah berhenti di depan rumah Radit. Mereka pun turun dari mobil, masuk ke rumah Radit. Beberapa menit kemudian mereka berlima sibuk berjibaku dengan tugas Kewarganegaraan. Ibunya Radit datang menghampiri membawakan makanan dan minuman untuk tamu kecil ini.
Waktu sudah menunjukan pukul 5 sore, Pak Rudi sudah membunyikan klakson mobil agar anak-anak cepat pulang.
Beberapa jam kemudian, Aisyah sudah tiba di rumah. “Ca, cepetan mandi gih keburu malem ntar,” pinta mama begitu melihat Aisyah muncul di depan pintu.
“Iya, Ma,” sahut Aisyah dengan mencium tangan mamanya.
Prancis, Paris. Terik matahari bersinar terang membuat Grace semakin bersemangat. “Okay, I’m ready. I’m coming Indonesia,” serunya. Diletakannya semua koper yang hendak di bawa ke Indonesia di ruang tamu dekat perapian rumah di bantu mamanya.
Papa baru pulang dari kantor, membawa tiket pesawat untuk ke Indonesia. Saat itu juga mereka meluncur ke airport tanpa sepengetahuan Aisyah karena Grace ingin memberi kejutan untuknya dengan mengatakan akan ke Indonesia minggu depan padahal saat ini sudah meluncur ke airport.
Grace tertawa kecil membayangkan ekspresi sahabat lamanya saat melihat dia datang lebih cepat.
C'est quoi l'amour?,” tanya papa heran melihat tingkah anak semata wayangnya itu.
Pas ce que papa, je ne peux pas attendre pour répondre Aisyah,” jawab Grace kalau dia hanya ingin segera bertemu Aisyah.
Sesampainya di airport mereka menunggu sebentar untuk masuk ke dalam pesawat yang segera take off. Untung gak delay nih pesawat,” batin Grace dalam hati.
Setibanya di Bandara Internasional Juanda, Grace melirik jam tangannya, menyesuaikan waktu dengan WIB. “Surabaya, I’m here now!,” teriak Grace.
Pukul 11:00 WIB, Grace pikir Aisyah sekarang masih sekolah dan ini waktu yang tepat untuk tiba di rumah sebelum Aisyah pulang duluan.
“Mama, sudah tidak sabar menengok rumah kita, bagaimana kondisinya sekarang ya?.”
“Pasti tetap lha, Ma kan ada mbak Ita yang bersihin tiap hari.”
Papa aussi heureux d'être de retour ici, nombreux souvenirs d'enfance dans cette maison Grace,” kata Papa yang artinya senang kemballi ke sini, dimana banyak kenangan masa kecilku di rumah itu.
Grace memeluk papanya, berterimakasih, “Merci papa enfin prêt à prendre le temps de revenir ici.
Di dalam taksi yang membawa mereka pulang ke rumah. Mama teringat kalau besok adalah hari pahlawan. Pasti akan ramai sekali acara di Surabaya pikir mereka.
Beberapa jam kemudian mereka telah tiba di rumah, tak lupa mereka berkunjung ke rumah keluarga Aisyah, membawakan cenderamata dari Paris.
Denting jam di ruang tamu rumah Aisyah menunjukan pukul 14:30. Biasanya mereka sudah pulang dan tepat seperti dugaan mama Aisyah, suara kedua anaknya terdengar di kejauhan.
Lho ada tamu, Kak. Siapa ya?, tanya Aisyah bingung. Kak Faisal hanya mengangkat kedua bahunya menyatakan isyarat tidak tau.
Betapa terkejutnya Aisyah begitu tau bahwa Grace sekeluarga yang datang.
Hai, Aisyah. Apa kabar?,” kata Grace dengan ramah, membuka kedua tangannya untuk memeluk Aisyah.
Aisyah masih terpaku melihat Grace yang sudah begitu lama tidak di temuinya berdiri di depannya. Kak Faisal justru nyelonong memeluk Grace. Semua pun tertawa.
Lalu Aisyah dan Grace masuk ke kamar Aisyah. “Tidak ada yang berubah ya, Ca?.” Grace memandang seluruh kamar Aisyah, melihat foto kecil mereka.
“Iya, kamu kok jahat sih gak kasih kabar aku?.”
“Lho, aku kan sengaja kasih surprise ke kamu.” Tak berapa lama mereka hanyut dalam obrolan penuh keakraban.
Keesokan harinya tanggal 10 November, hari pahlawan. Aisyah dan Kak Faisal mengenakan baju bebas bertema pahlawan dengan model tentara. Grace pun tidak mau kalah, dia ikut menyusul Aisyah dengan pakaian ala dokter.
Kali ini Grace ikut ke sekolah Aisyah, melihat upacara bendera merah putih yang sudah lama tidak di jumpainya di Paris.
Selesai upacara Aisyah mengenalkan Grace kepada empat temannya.
Melihat wajah Grace yang Indo, Radit menyapa dengan bahasa Perancis, “Bonjour Ravi de vous rencontrer, mon nom Radit.
“Radit, Aku masih bisa bahasa Indonesia kok,” kata Grace dengan gaya sedikit kejawaan.
Shifa, Nita, Reno pun menertawakan Radit. Kemudian Aisyah berinisiatif mengajak Grace jalan-jalan keliling Surabaya.
“Siapa mau ikut?,” seru Aisyah diiringi acungan tangan teman-temannya. Seperti biasa mereka pergi diantar Pak Rudi, berkeliling kota Surabaya melihat pawai di balai kota.  Dalam pawai itu terdapat berbagai macam orang, tetapi mereka tetap satu tujuan, Cinta Tanah Air dalam merayakan Hari Pahlawan! Merdeka!

4 komentar: